Tentang Sebuah Komunitas Kristen Mennonite Amerika Di kota Harrisonburg
Tentang Sebuah Komunitas Kristen Mennonite Amerika Di kota Harrisonburg – Belum lama ini aku menulis suatu novel bertajuk Among the Believers: Cerita Hidup Seseorang Orang islam Bersama Komunitas Mennonite Amerika.Novel yang diberi pengantar oleh Guru besar Lawrence Yoder dari Eastern Mennonite Seminary ini ialah hasil dari pergumulan aku sepanjang kurang lebih 2 tahun( 2005- 2007) bersama komunitas Kristen Mennonite Amerika di kota Harrisonburg, Negeri Bagian Virginia, kala aku mengutip program ahli di aspek“ alih bentuk bentrokan serta riset perdamaian” di Eastern Mennonite University’ s Center for Justice and Peacebuilding.
Tentang Sebuah Komunitas Kristen Mennonite Amerika Di kota Harrisonburg
kccommunitynews – Melansir law-justice, Sepanjang kurang lebih 2 tahun itu, aku bermukim serumah bersama keluarga Mennonite serta berteman dengan komunitas Mennonite bagus di gereja, kampus, serta tempat- tempat khalayak lain.
Pengalaman aku bersama komunitas Mennonite ini berikan pelajaran yang bernilai untuk saya—pelajaran mengenai“ bagian lain” bumi Amerika. Dalam pemikiran beberapa kalangan Orang islam serta beberapa ormas keislaman di Tanah Air, Amerika kerap ditafsirkan selaku negeri sekuler yang pro- kebebasan, anti- Islam, serta hobi perang. Di tengah dakwaan beberapa khalayak Orang islam mengenai Kristen serta Amerika yang memusuhi serta melawan Islam, pengalaman aku bermukim bersama komunitas Mennonite malah membuktikan kebalikannya.
Berdiri pada era ke- 18, Mennonite yang didapat dari julukan terbaru“ Kristen Anabaptis” yang berkebangsaan Belanda di dini era ke- 16, Menno Simons( 1496- 1561)—adalah komunitas Kristen“ illiberal” dalam uraian keimanan serta pengetahuan teologinya( amati riset John Roth, Beliefs: Mennonite Faith and Practice). Hendak namun menariknya mereka memiliki visi serta antusiasme manusiawi, forgiveness, perdamaian, keterbukaan serta perdamaian yang amat kokoh melintas batasan etnik, bangsa, adat, serta agama.
Mennonite merupakan komunitas keimanan yang amat patuh serta alim yang senantiasa berpedoman konsisten pada nilai- nilai elementer agama Kristen serta“ adat- istiadat Alkitab”. Mennonite menentang buah pikiran serta praktek sekularisme- liberalisme, anti alkohol, anti seks leluasa, mengancam pornografi serta pornoaksi, menyumpahi praktek homoseksual, dlsb yang mereka kira selaku“ adat Hollywood” yang mencelakakan warga Amerika. Hendak namun pada dikala yang berbarengan mereka senantiasa toleran- pluralis dalam membuat ikatan keimanan dengan komunitas agama lain.
Ini membuktikan kalau“ konservatisme” serta“ fundamentalisme” yang Mennonite pegang itu bertabiat“ ke dalam”. Sebab itu Mennonite merupakan ilustrasi dari komunitas agama yang konvensional di satu bagian namun terbuka di pihak lain.
Aku mau memanggil ini selaku“ konservatisme inklusif”—sebuah campuran uraian keimanan yang istimewa serta konflik. Berlainan dengan“ konservatisme khusus” yang amat tertutup serta tidak ingin membuka diri, berbahas, berbicara serta berhubungan dengan komunitas di luar mereka,“ konservatisme inklusif” bertabiat terbuka dengan kultur serta unsur- unsur luar( the otherness). Tidak semacam golongan“ konvensional khusus” yang apriori dengan“ yang lain” serta apalagi kerap underestimate kepada kebudayaan serta agama lain, golongan“ konvensional inklusif” dalam banyak perihal tidak begitu.
Tidak hanya iman perseorangan, karakter elementer komunitas Mennonite merupakan“ iman sosial”. Pengikut Mennonite tidak cuma alim dalam perihal“ ibadah perseorangan” ialah kegiatan ritual yang mengarah pada“ keamanan diri” nanti di alam baka semacam ibadah, ibadah Minggu dlsb hendak namun mereka pula alim dalam perihal“ ibadah sosial” semacam aksi- aksi kebersamaan manusiawi buat menolong orang lain yang membutuhkan
apapun agama, etnik, bangsa serta pandangan hidup mereka. Relief serta servicetelah jadi salah satu“ trade mark” Mennonite.
Antusiasme cinta- kasih ini sedemikian itu kokoh dalam adat- istiadat Mennonite. Serta ajaran cinta- kasih itu tidaklah pernyataan lisan kosong kosong tidak bermuatan melainkan dipraktekkan dalam aksi jelas serta diorganisasikan dalam wujud lembaga- lembaga sosial yang berhamburan di komunitas ini semacam Mennonite Central Committee( MCC). MCC yang mempunyai agen di bermacam bagian bumi ini sudah menggelontorkan milyaran dollar untuk menolong para korban musibah, bagus musibah alam( tsunami, banjir, gunung meletus, angin besar dlsb) ataupun“ musibah politik”( korban perang).
Di Negara Indonesia, MCC pula sudah menghasilkan duit milyaran rupiah buat membidani cara rehabilitasi serta Aceh pasca di terjang tsunami, menolong membuat rumah- rumah para korban Gunung Merapi( bagus Orang islam ataupun Kristen), mendesak cara perdamaian Kristen- Muslim di Maluku, serta sedang banyak lagi.
Baca Juga : Staf Community Builders of Kansas City Mempengaruhi Perubahan
Lebih lanjut Mennonite, spesialnya Mennonie Amerika, merupakan golongan keimanan yang mempunyai kepribadian kokoh dalam menggenggam prinsip pacifism, ialah suatu mengerti antikekerasan—apapun jenisnya—dan membela pada usaha- usaha pembangunan perdamaian( peacebuilding) dalam menuntaskan permasalahan bentrokan, spesialnya bentrokan komunal yang mengaitkan 2 ataupun lebih golongan/ tim yang bentrok. Komitmen pada cara pembangunan perdamaian, aksi antikekerasan, forgiveness serta perdamaian ini tidak cuma mereka wacanakan semacam biasanya dicoba banyak orang namun betul- betul mereka implementasikan dalam aksi jelas.
Bersama Quaker serta Brethern, Mennonite merupakan penopang apa yang diucap“ historic peace churches” yang anti kepada seluruh tipe aksi kekerasan bagus dalam negeri terlebih kekerasan berukuran politik- keagamaan. Mennonite pula jadi protagonis penting aksi anti- perang di Amerika. Para figur Mennonite kerap memobilisir massa buat berdemonstrasi di Bangunan Putih untuk menentang“ program perang” AS di Afghanistan, Irak, serta negeri lain, sembari mengadvokasi berartinya menuntaskan kekerasan dengan cara rukun.
Tidak semacam beberapa banyak orang Kristen militan- konservatif yang besar hati dengan ikon“ salib serta anggar” semacam didoktrinkan Santo Agustinus, kalangan Mennonite lebih senang“ salib serta bunga.” Bila beberapa kalangan Kristen besar hati dengan ikon burung elang yang berani serta gagah bagak, Mennonite lebih memilah merpati yang halus serta damai. Amat menarik buat disimak banyak sekali lembaga- lembaga Mennonie yang memakai ikon burung merpati ini. Burung merpati memanglah ikon perdamaian, aman, keseimbangan, serta kejujuran sekalian. Tidak sempat aku melihat“ burung cewek” ini berkelai satu serupa lain.
Komitmen Mennonite pada peacemaking and nonviolence movements ini dibangun oleh“ their historical experience, their close reading of biblical tradition, and their evolving kebatinan response to the world around them”. Demikianlah statment ahli serta rabbi Ibrani Amerika terkenal Marc Goppin dalam ciptaannya, Between Eden and Armageddon: The Future of World Religions, Violence, and Peacemaking( Goppin 2002: 164). Aku duga Professor Gopin betul.
Antusiasme serta filosofi nirkekerasan yang dicoba Mennonite dibangun oleh, serta produk dari, bermacam aspek:( 1)“ jawaban kebatinan” atas pluralitas area dekat,( 2) artikulasi atas adat- istiadat biblikal paling utama hal sepak terjang Yesus yang antikekerasan serta penuh cinta- kasih pada pemeluk orang, dan( 3) pengalaman asal usul golongan agama ini yang penuh beban semenjak dari Eropa hingga Amerika. Telah banyak novel yang menceritakan cerita iba ekspedisi mereka: diasingkan dari komunitas, dituduh ajaran menyimpang, dilecehkan selaku“ orang kuno” yang tidak ingin menyesuaikan diri dengan kemodernan serta berikutnya.
Pengalaman asal usul Mennonite selaku kalangan minoritas teraniaya yang terpinggirkan dalam asal usul kultur orang ikut berikan partisipasi pada dontrin serta filosofi nirkekerasan, forgiveness, perdamaian, serta perdamaian yang jadi trade markkelompok agama adat- istiadat Anabaptis ini. Memanglah jadi persoalan besar: mengapa suatu komunitas yang hadapi“ asal usul hitam” begitu jauh setelah itu berganti jadi“ anti- kegelapan”? Gimana cara alih bentuk dari“ komunitas teraniaya” ke“ komunitas toleran serta juru damai” itu terjalin?
Dalam banyak perihal, orang ataupun golongan yang teraniaya ataupun terzalimi, ataupun hadapi praktek aniaya, setelah itu berganti jadi“ golongan pemeras” yang kejam sebab terdapatnya desakan menanggapi marah. Apalagi pembantaian, dalam warga khusus, dapat jadi sesuatu aksi yang amat agung. Inilah yang disebut—dalam kesusastraan antropologi—“ honor
killings,” ialah pembantaian untuk melindungi derajat keluarga ataupun golongan/ etnik khusus. Dalam kesusastraan agama pula diketahui“ mati syahid” ataupun“ perang bersih” untuk membela ataupun menjaga suatu yang mereka kira keramat: agama, tanah, keluarga, dlsb. Namun Mennonite bukanlah begitu. Walaupun asal usul mereka penuh kepahitan selaku“ kalangan terzalimi”( the oppressed), mereka tidak berganti jadi ajaran agama militan- radikal laiknya kalangan“ islamis- teroris”.
Akhirul kalam, pemeluk Mennonite Amerika merupakan suatu golongan agama yang istimewa serta menarik buat dikaji serta dicontoh sekalian. Mereka merupakan minoritas agama disitu. Jumlah pengikut Mennonite di Amerika kurang dari 400, 000( keseluruhan pengikut Mennonite di semua bumi, bagi survey Mennonite World Mission tahun 2006, dekat 1, 3 juta). Sedangkan masyarakat Amerika lebih dari 300 juta jiwa. Jadi cuma dekat 0, 3% saja dari keseluruhan masyarakat negeri adi energi itu. Jumlah pemeluk Islam di Amerika jauh lebih banyak dari Mennonite.
Walaupun dari bidang jumlah mereka minoritas hendak namun dari bidang kedudukan di zona khalayak serta pembangunan artikel, mereka tidak dapat ditatap minoritas lagi. Banyak ilham serta artikel yang dibesarkan Mennonite Amerika dicontoh oleh komunitas lain, tidak cuma di Amerika saja namun pula di bermacam negeri. Ilustrasi kecil merupakan mengenai rancangan peacebuilding, guncangan healing, restorative justice, reconciliation, serta conflict transformation. Sebagian rancangan ini sudah“ dikloning” oleh banyak orang dari bermacam area: dari Afrika Barat hingga Amerika Latin, dari Kanada hingga Filipina.
Pandangan hidup“ pacifisme” yang diusung Mennonite—bersama Quaker, Brethren in Christ, serta golongan pacifis lain—juga ikut mengibarkan julukan pengikut Menno Simons ini. Di dikala bumi lagi diterpa bentrokan antarnegara, antaretnis, antaragama, antarkelompok serta berikutnya, antusiasme“ pacifisme” yang antikekerasan serta pro- perdamaian ini semacam air hujan di tengah masa panas yang kering kerontang. Pacifisme jadi ikon“ perlawanan kultural” atas pandangan hidup perang serta kekerasan yang didengungkan oleh beberapa orang serta golongan militan- radikal. Pula, di tengah warga yang silih memusuhi serta melawan, antusiasme forgiveness serta perdamaian yang diusung Mennonite terasa amat mendinginkan. Oleh sebab itu bukanlah kelewatan bila aku tuturkan kalau Mennonite, dalam banyak perihal, semacam oase di padang pasir yang tandus.